Sejarah Tambang Freeport Indonesia

Kita bisa menelusuri panjangnya sejarah freeport atau penguasaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia, setidaknya dari kedatangan Vereenigde Oost Indische Compagnie atau VOC abad ke-16 di Nusantara. VOC, yang dikenal sebagai perusahaan, adalah sekelompok pedagang bersenjata dengan tujuan memperluas wilayah perdagangan mereka ke dunia baru di luar Eropa.

Hal pertama yang dilakukan VOC adalah menguasai kantong ajaib yang menjadi pusat keberadaan sumber daya produktif rakyat di Nusantara dengan menjadikan struktur feodal lama sebagai perpanjangan tangan kolaborator VOC di wilayah produktif tersebut.

Aksi VOC ini dilakukan dengan mengekstraksi sumber daya alam dan menjadikan masyarakat nusantara menjadi tenaga kerja untuk keuntungan perdagangannya. Cara kerja kerja VOC sangat erat kaitannya dengan bagaimana kebijakan sumber daya alam yang ditetapkan di kepulauan Indonesia pada saat itu mengambil bentuk dan dinamika yang beragam.

Pada awal Mei 1662, VOC, sebuah perusahaan multinasional Belanda, menduduki Pulau Cingkuak (Poulo Chinco).

Saat itu VOC menguasai Cingkuak pada tahun 1662 untuk di jadikan jangkar untuk menduduki kota padang. Pulau ini juga digunakan hingga lebih dari seabad kemudian sebagai penginapan untuk perdagangan lada dan pala, dan bahkan mengelola tambang emas Salido.

Eksploitasi sumber daya alam di sektor pertambangan termasuk sejarah freeport dan penggalian mineral mulai terlihat pada tahun 1669 di Salido, Sumatera Barat pada masa kepemimpinan Commandeur Jacob Joriszoon Pit, yang menjabat dari tahun 1667 hingga 23 Mei 1678.

Pit adalah commandeur VOC ketiga untuk pos Padang. VOC mendatangkan untuk pertama kalinya dua ahli tambang ke Salido bernama Nicolaas Frederich Fisher dan Johan de Graf yang berasal dari Hungaria, bersama dengan para buruh yang berasal dari budak-budak yang dibawa VOC dari Madagaskar dan tawanan perang (krijgsgevangenen) dari daerah sekitarnya.

Akhirnya, Juli 1679, VOC kembali mendatangkan ahli tambang ke Salido. Ia seorang insinyur bernama Johann Wilhelm Vogel asal Jerman.

Setelah Johann Wilhelm Vogel, VOC kembali mendatangkan ahli bebatuan gunung, Benjamin Olitzsch, bersama dengan seorang asisten bernama Elias Hesse. Tapi malang bagi Benjamin Olitzsch, ia meninggal pada 28 Mei 1682 di Salido karena sakit. Jenazahnya dimakamkan di Pulau Cingkuak.

Setelah Wilhelm Vogel, pengelolaan tambang Salido digantikan oleh Gabriel Muller. Pada masa Muller Tambang Salido mengalami kemunduran. Kehidupan di tambang itu makin buruk.

Saat itu Belanda sedang berperang dengan Perancis. Kondisi ini berdampak pula ke negeri-negeri jajahannya. Akhirnya tambang Salido terpaksa ditutup.

Sejarah freeport dimulai lagi pada tahun 1724, VOC kembali membuka tambang Salido dengan mendatangkan seorang ahli asal Jerman bernama Mettenus dengan asistennya bernama Weinberg.

Usaha membuka tambang Salido kali ini ternyata hanya sia-sia. VOC mengalami kerugian, dan akhirnya tambang Salido kembali ditutup.

Tahun 1732 tambang Salido dibuka lagi, dipimpin oleh seorang ahli bernama Bollman. Eksplorasi di tambang itu ditingkatkan dengan membuat lubang galian baru bernama cloon–tunnel sepanjang 300 meter.

Sejarah freeport kembali berlanjut tahun 1710, Kesultanan Palembang kemudian bekerja sama dengan VOC untuk penjualan hasil timah di Bangka. Tahun 1717, VOC telah melakukan ekspor timah dalam jumlah kecil ke Eropa, tetapi kegiatan ini hanya berlangsung hingga 1755.

Setelah VOC bangkrut, karena korupsi yang terjadi dalam perusahaannya, pemerintah Kerajaan Belanda mengambil alih semua penguasaan yang sebelumnya dimiliki VOC setelah membubarkannya pada 1799.

Pada 1820 Pemerintah Belanda membentuk Committee for the Natural Sciences in the Dutch East Indies. Komite ini terdiri dari ahli geologi Belanda yang bertugas untuk menyelidiki kandungan-kandungan alam di sejumlah kepulauan Indonesia.

Untuk mendukung keputusan itu, pada 1850 dibentuk Dienst van het Mijnwezzen (Departemen Dinas Pertambangan) di Batavia, dengan tugas yang mencakup manajemen pertambangan dan penggalian, otoritas pajak, pengawasan dan pengelolaan tambang yang mengandung bahan mineral, pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi.

Dibuat juga Besluit (keputusan) pemerintah kolonial No 45, 24 Oktober 1850 tentang “larangan memberikan izin penggalian tanah yang mengandung bahan tambang berharga kepada pihak selain orang Belanda”.

Tahun 1852 dibuat peraturan pertambangan (Mijnreglement) pertama oleh pemerintah Belanda. Peraturan ini pada dasarnya mengatur tentang pemberian hak penambangan kepada pihak swasta warga negara Belanda, tetapi hanya terbatas untuk wilayah di luar pulau Jawa termasuk sejarah freeport

Pada tahun yang sama, Billiton Maatschappij mendapatkan izin penambangan di Pulau Belitung. Walaupun begitu, beroperasinya Billiton masih memakai skema kerja sama dengan negara; Pemerintah Belanda memiliki 3 orang wakil dari 5 orang anggota komisaris di perusahaan, dan 5/8 keuntungan bersihnya dibayarkan kepada pemerintah.

Tahun 1868, geolog Belanda, Willem Hendrik de Greeve, menemukan kandungan batubara di Ombilin. Laporan ke Batavia mengenai penemuan ini disusun pada 1871 dengan judul “Het Ombilin kolenveld in de padangsche Bovenlanden en het transportstelsel op Sumatra Westkust”.

Pada 1872, W. H de Greeve melakukan eksplorasi lanjutan di Sumatera Barat. Namun nasib sial, penemu batubara di Ombilin ini tewas setelah mengalami kecelakaan di Sungai Indragiri, saat melakukan penelitian.

Selanjutnya, dua insinyur tambang asal Belanda, Jacobus Leonardus Cluysenaer dan Daniel David Veth, ikut serta dalam proyek pertambangan di Ombilin, sejak 1874. Veth kemudian menulis laporan yang berjudul “The Expedition to Central Sumatra”.

Karena permasalahan birokrasi di pemerintah Belanda saat itu akhirnya Batubara di Ombilin, Sawahlunto baru ditambang pada 1891 dan mulai produksi pada 1892 setelah semua infrastruktur pendukung rel kereta api untuk jalur pengangkutan dan pelabuhan, untuk jalur penangkapan telah rampung dibangun.

Tahun 1895-1896 dimulai eksplorasi pertambangan di Bengkulu yang berada di onderafdeeling Lebong dan menemukan emas dalam endapan primer di lebong Donok.

Selanjutnya, temuan tersebut mulai diambil alih oleh Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong yang berdiri pada 10 Februari 1897.

Semakin pentingnya produk-produk hasil pertambangan pada masa revolusi industri saat itu menjadikan sektor pertambangan adalah komoditas penting yang harus dilindungi dan dieksploitasi untuk kemajuan Belanda. Maka pada 1899, pemerintah Belanda membuat Undang-Undang “Indische Mijnwet”, yaitu paket perundangan untuk pertambangan.

Selama perjalanannya peraturan ini mengalami beberapa kali perubahan, tapi perubahan yang dimaksud adalah semakin dibukanya keran investasi, untuk sektor industri ekstraktif ini. Indische Mijnwet ini telah berhasil menggalang “massa investor” pertambangan di Hindia-Belanda akhir 1938.

Di Pulau Sumatera, emas sudah lama diusahakan oleh rakyat. Kegiatan penambangan emas modern ditandai dengan dibukanya tambang Lebong Donok, Bengkulu pada 1899. Jenis cebakan yang dikerjakan adalah cebakan emas primer.

Usaha itu disusul oleh pembukaan tambang-tambang lain seperti Simau (1910), Salida (1914), Lebong Simpang (1921) dan Tambang Sawah (1923).

Tambang Manggani di Sumatera Barat mulai berproduksi pada 1913. Tambang yang diusahakan oleh perusahaan Equator ini bertahan sampai tahun 1931, kemudian beralih kepemilikan dan dibuka kembali pada 1939 oleh Marksman’s Algemeen Exploratie Maatschappij (MAEM).

Tambang-tambang lain yang dibuka sesudah era 1930-an yaitu daerah Belimbing, Gunung Arum pada 1935 dan dikelola oleh perusahaan Barisan, daerah Bulangsi dikelola oleh Sumatra Goldmijn Ltd dan Muara Sipongi pada 1936.

Selain menambang bijih emas primer, MAEM juga mengusahakan emas yang berasal dari endapan aluvial (sekunder) di Meulaboh, Aceh yang dibuka pada 1941 dan berlangsung hingga pecah Perang Dunia II. Tambang emas aluvial lain terdapat di Logas Riau dan diusahakan oleh perusahaan Bengkalis.

Menjelang tahun 1920, sesuai dengan rencana pemerintah Hindia-Belanda menjadikan Bandung sebagai ibu kota Hindia-belanda, maka dilakukan persiapan untuk memindahkan kantor Mijnwezen ke Bandung.

Departement Burgerlijke Openbare Werken (Departemen Pekerjaan Umum) yang membawahi Mijnwezendan menempati gedung sate. Pada 1922, lembaga Mijnwezen ini berganti nama menjadi Dienst van den Mijnbouw.

Tahun 1928, Pemerintah Hindia-Belanda mulai membangun gedung Geologisch Laboratorium yang terletak di jalan Wilhelmina Boulevard untuk kantor Dienst van den Mijnbow dan diresmikan 16 Mei 1929.

Selanjutnya gedung ini dipergunakan untuk penyelenggaraan acara Pacific Science Congress ke IV. Gedung ini sekarang bernama museum Geologi, yang beralamat di jalan Diponegoro No. 57 Bandung.

Untuk meningkatkan pencarian bahan galian tambang di luar Jawa, dibentuklah “Mijnbouwkunding-Geologische Onderzoekingen” dan tahun 1939 bagian ini berubah nama menjadi ”Geologische Dienst”.

Sejarah freeport berlanjut ada tahun 1936, dalam ekspedisi Cartenz, A.H. Colijn, F J Wissel dan geolog Jean-Jacques Dozy berkebangsaan Belanda melakukan pendakian ke gletser Jayawijaya di Irian Jaya dan menemukan potensi mineral tembaga dan emas di gunung bijih, yang kemudian berganti nama menjadi Ertsberg.

Pada tahun 1940, Cebakan bijih emas primer yang ditemukan di daerah Cikotok mulai diproduksi dan diusahakan oleh perusahaan Zuid Bantam (Anonim, 1998).

Tambang emas Cikotok dan Cikondang dan sejumlah tambang emas di Sumatera (Simau, Lebong, Simpang, Manggani, Logas, dan Meulaboh) serta tambang emas di Sulawesi Utara (Tapaibekin) tetap berjalan walaupun pecah Perang Dunia II.

Penjajahan Jepang (1942-1945)

Panjangnya sejarah freeport beralih ke masa invasi Jepang ke Indonesia. Pada masa itu, kantong-kantong industri Belanda sengaja dihancurkan dengan politik “Bumi Hangus”, sehingga pada masa-masa itu pertambangan Belanda tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk digunakan oleh penjajah Jepang.

Segala dokumen Dienst van den Mijnbouw diganti namanya oleh Jepang menjadi Chisitsu Chosasho.

Tidak banyak dokumen tentang pertambangan tremasuk di dalamnya sejarah freeport di masa kolonial Jepang yang hanya tiga tahun menduduki Nusantara. Salah satu peninggalan Jepang yaitu tambang batubara di Bayah, Banten, yang saat itu dikelola oleh Bayah Kozan Sumitomo Kabushiki Kaisha.

Setelah Agresi Militer II dan pengakuan kedaulatan pada akhir 1949 (Periode 1950-1966)

Sejarah freeport berlanjut Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya tahun 1945, para “founding fathers” negara Indonesia, sadar betul dengan kondisi kekayaan alam yang ada di atas dan di dalam bumi pertiwi ini, dan dari basis kekayaan itulah Indonesia dan rakyatnya diandalkan untuk membangun Bumi Indonesia bagi kemaslahatan rakyat Indonesia.

Pertambangan atau sejarah freeport di era Presiden Ir. Soekarno tidak berkembang pesat karena dia anti terhadap kapitalisme-imperialisme.

Namun, peninggalan data-data Belanda berupa tempat-tempat potensial untuk pertambangan menjadi modal untuk pengembangan kegiatan pertambangan. Indische Mijnwet diganti dengan Undang-Undang RI Nomor 37 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan.

Perpu ini menganut ekonomi berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), tidak memperdulikan perkembangan pertambangan di dunia termasuk sejarah freeport. Penanaman modal asing sama sekali ditutup, sesuai dengan UU No. 78 Tahun 1958 tentang penanaman modal asing yang berlaku saat itu.

Presiden Ir. Soekarno ingin semua kekayaan alam Indonesia dikelola oleh insinyur-insinyur Indonesia sendiri. Sejak awal, dalam UUD 1945, perihal kekayaan alam yang dieksplisitkan dengan kata-kata “Sumber Daya Alam” menjadi objek pengaturan tersendiri di dalam pasal 33 ayat 3 yang di sana diatur tentang “penggunaan sumber daya alam itu, untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia. UU N0.44/1960.

Tahun 1963 untuk sejarah freeport , geolog Freeport Forbes Wilson dan Del Flint melakukan ekspedisi kembali ke Irian Jaya, setelah mendengar kabar geolog Belanda Dozy yang menemukan gunung yang mengandung bijih tembaga dan emas.

Periode Orde Baru

Titik penting yang dapat dilihat pada awal pemerintahan Orde Baru ini adalah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1966, yang menyatakan tentang bergabungnya kembali Republik Indonesia dalam International Monetary Fund (IMF) dan International Bank for reconstruction and Development.

Dengan asistensi ekonom-ekonom IMF, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan tiga undang-undang yang berkaitan dengan SDA pada 1967, yang dikenal sebagai “Paket 1967”, yaitu, pertama UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, kedua, pada 24 Mei 1967 diterbitkan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan; dan ketiga pada 2 Desember 1967 dikeluarkan Undang-Undang Pokok Pertambangan (UU No. 11 Tahun 1967).

Tanggal 5 April 1967 dilakukan penandatangan kontrak karya (KK) antara Freeport Sulphur Company (FCS) dan pemerintah Indonesia.

Pada periode 1967-1972 terdapat US$ 2488,4 juta penanaman modal asing masuk di Indonesia (di luar perbankan).

Investasi pada sektor pertambangan termasuk untuk sejarah freeport adalah yang paling besar, yaitu U$ 953,7 juta atau sebanyak 38% dari persentase keseluruhan masuknya modal asing di Indonesia, pada periode 1980-an awal seperti Rio Tinto, Newmont Gold Company, Newcrest Mining Ltd, Broken Hill Proprietary Company, dan Inco Ltd, mulai beroperasi di areal-areal tambang strategis. waletqq

Itulah tadi ulasan dari panjangnya sejarah freeport di indonesia, semoga dapat membantu dan selalu lestarikan kekayaan alam Indonesia.